Rabu, 30 April 2014

Planet Alien Kepler-186f dan Ancaman Kepunahan Manusia


Ini gambaran Bumi pada 2154: sesak, padat, rusak, gersang, compang-camping. Debu melapisi permukaan segala hal termasuk dedaunan di pohon yang tak leluasa tumbuh di antara belantara beton kumuh yang menjulang tinggi. Polusi sedemikian parah mencekik jalan napas manusia yang hidup di dalamnya, penyakit pun merajalela. Gajah, gorila, dan jerapah tinggal cerita masa lalu. Punah.
Tak ada kelas menengah saat itu. Takdir manusia dipisahkan dua dunia: Bumi suram yang dikendalikan robot atau ‘surga’ berbentuk roda dengan simbol bintang di tengahnya.  Yang berkilau terang di langit malam, jaraknya sedikit lebih dekat dari Bulan.
Nirwana itu adalah satelit buatan manusia, hanya orang-orang kaya yang bisa tinggal di dalamnya dengan nyaman. Rumah-rumah besar, alam yang indah, pepohonan, udara bersih, robot-robot pelayan yang siap melaksanakan titah. Orang di dalamnya tak pernah sakit dan menua. Setiap penyakit dapat disembuhkan seketika.  
“Aku akan membawamu ke sana. Aku janji,” kata Max kecil, pada sahabatnya, Frey. Keduanya adalah penduduk Bumi, kaum proletar.  Kelak ikrar tersebut menuntut nyawa.  Kisah itu digambarkan dalam film Esylum yang dirilis pada 2013 lalu -- satu lagi ramalan suram Bumi.

Benarkah hal buruk akan menimpa planet kita di masa depan?  
Setidaknya itu yang diyakini astrofisikawan tenar, Stephen Hawking. Dalam sebuah wawancara dengan situs Big Think, ia mengatakan manusia dalam bahaya besar. Ancaman terhadap eksistensi manusia, seperti perang, penurunan sumber daya alam, dan overpopulasi berarti meningkatkan risiko hidup di Bumi berkali lipat.
“Sangat sulit untuk menghindar dari bencana dalam beberapa ratus tahun mendatang, apalagi dalam ribuan atau jutaan tahun ke depan,” kata Hawking. “Satu-satunya agar manusia bisa bertahan dalam jangka waktu lama adalah untuk tidak tergantung pada Bumi. Manusia harus pindah, menyebar di luar angkasa.”  
Namun, waspada! Dalam seri Discovery Channel, Hawking memperingatkan manusia untuk berhati-hati dalam melakukan kontak dengan bentuk kehidupan asing. Para alien itu mungkin tak ramah.
Kekhawatiran Hawking soal Bumi bukan tanpa dasar. Fakta menunjukkan, Berdasarkan penanggalan radiometrik meteorit, usia Bumi lebih dari 4,54 miliar tahun. Sudah tua. Sampai kapan ia layak dihuni?
Studi yang dilakukan University of East Anglia, Inggris, pada 2013 lalu memperkirakan, Bumi masih mampu menopang kehidupan setidaknya selama 1,75 miliar tahun mendatang. Tapi ada syaratnya, selama bencana dahsyat akibat nuklir, tubrukan asteroid raksasa, dan malapetaka lain tak terjadi.
Namun, bahkan tanpa skrenario kiamat sedramatis itu, kekuatan astronomi akan memaksa Bumi tak lagi bisa dihuni. Suatu masa antara 1,75 miliar hingga 3,25 tahun lagi, Bumi akan keluar dari zona layak huni (habitable) dalam Tata Surya ke ‘zona panas’.
Saat masuk ke zona panas, Bumi akan mendekat ke Matahari, membuat lautan kering kerontang. Dan tentu saja, kondisi kehidupan, termasuk manusia, tak bakal mampu bertahan.
Jika manusia terpaksa pindah, ke mana? Kalau tak mampu membuat koloni di orbit rendah Bumi seperti Esylum, Mars mungkin pilihan terbaik, meski misi rover yang dikirim, termasuk Curiosity belum menemukan tanda-tanda kehidupan di sana. Planet Merah masih terlalu tandus untuk dihuni manusia. Venus pun tak bisa ditinggali karena terletak terlalu dekat dengan Matahari dan terlalu panas.
Setidaknya ada tiga syarat utama sehingga sebuah planet bisa dibilang layak huni, yakni harus adanya sumber panas, air, dan kehidupan organik.  Selain Mars dan Venus, di tata surya kita, ada beberapa  kandidat lain yakni  satelit Yupiter -- Europa serta satelit Saturnus -- Enceladus dan Titan. Namun sejauh ini kepastian belum didapat.
Sejak Dr Alexander Wolszczan, astronom radio di Pennsylvania State University menemukan ‘bukti tak terbantahkan’ tentang sistem planet ekstrasolar atau eksoplanet pada 1994, para ilmuwan mulai mencari tanda-tanda kehidupan di luar tata surya. Mencari ’planet alien’.


Pertengahan April 2014, sebuah pengumuman penting disampaikan para astronom. Ditemukan eksoplanet atau planet di luar tata surya seukuran Bumi yang berada di zona layak huni bintangnya! Namanya Kepler-186f.
Ia kali pertama diketahui keberadaannya oleh teleskop luar angkasa Kepler milik Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA).  Kepler-186f  diketahui mengorbit bintang merah yang bersinar redup, yang jaraknya 490 tahun cahaya dari Bumi: Kepler-186.

Para ilmuwan menduga, Kepler-186f -- yang terluar dari 5 planet yang mengorbit bintang Kepler-186 dalam jarak 52,4 kilometer secara teoritis berada dalam zona habitasi bintang merah kerdil itu.
Sementara, orbit Bumi dari Matahari berjarak rata-rata 150 juta kilometer. Namun, Matahari lebih besar dan terang dari bintang Kepler-186. Itu mengapa zona layak huni Matahari lebih jauh.
Jari-jari Kepler-186f  diperkirakan sekitar 1,1 kali jari-jari Bumi. Itu berarti ukurannya sedikit lebih besar dari planet manusia. Mungkin berbatu seperti Bumi. Namun, para ilmuwan belum bisa memastikan, apa elemen yang membentuk atmosfer planet tersebut --  kunci yang dapat membantu menguak apakah planet ini bisa dihuni makhluk hidup.
Para astronom sejauh ini  telah mengkonfirmasi keberadaan hampir 1.000 planet di luar tata surya. Namun, sebagian besar eksoplanet terkonfirmasi sebagai planet gas raksasa seperti Jupiter tanpa permukaan padat, atmosfer beracun, dan terlalu panas atau terlalu dingin untuk zat cair dan apalagi kehidupan. Jadi Kepler-186f adalah temuan istimewa.
“Ini (Kepler-186f ) planet definitif pertama seukuran Bumi yang ditemukan di zona layak huni di sekitar bintang lain,” kata Elisa Quintana dari SETI Institute di NASA Ames Research Centre di Moffett Field, California, dan penulis utama penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Science.
Penting untuk mencari planet yang ukurannya serupa dengan Bumi. “Apa yang kita pelajari, dalam beberapa tahun terakhir, adalah ada transisi pasti yang terjadi sekitar 1,5 kali jari-jari bumi,” kata Quintana dalam sebuah pernyataan. “Jika sebuah planet memiliki jari-jari 1,5 sampai 2 kali jari-jari Bumi, ia menjadi cukup besar untuk mulai menumpuk hidrogen sangat tebal dan memiliki atmosfer helium -- sehingga menyerupai gumpalan gas raksasa.”

Kepler-186f sesuai dengan deskripsi dari sebuah planet berbatu dengan atmosfer jinak yang terletak dalam zona ramah atau Goldilocks  -- yang tidak terlalu panas atau terlalu dingin bagi kehidupan. “Yang paling mendekati Bumi 2.0,” kata para astronom.
Benarkah kita telah menemukan Bumi 2.0 alias Bumi kedua? Tunggu dulu!
“Berada di zona layak huni tidak berarti kita tahu planet ini memang layak huni,” kata Thomas Barclay, ilmuwan riset di Bay Area Environmental Research Institute, NASA. “Suhu di planet tersebut sangat tergantung pada jenis atmosfer yang dimilikinya.”
Menurutnya, terlalu prematur untuk menyebutnya mirip dengan Bumi. “Kepler-186f lebih mirip ‘sepupu Bumi’ daripada ‘kembaran Bumi’.”
Pencarian Bumi kedua di luar tata surya mungkin tak terkait tujuan menemukan koloni manusia, jaraknya terlalu jauh. Mustahil kita berpindah di sana dengan teknologi yang dimiliki saat ini.  Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, Thomas Djamaluddin, berpendapat ada rasa ingin tahu besar manusia yang membutuhkan jawaban. "Itu dari segi keingintahuan ilmiah bahwa (apakah benar) Bumi bukan planet (satu-satunya) yang ada penghuninya. Keingintahuan mendorong para peneliti mencari planet lain yang dari segi temperatur mirip."
Sinyal Kepunahan Manusia?
Temuan  Kepler-186f di konstelasi Cygnus memang kabar menggembirakan. Tapi, sebaliknya, dianggap meningkatkan posibilitas kepunahan manusia dalam jangka pendek. Itu sesuai dengan konsep yang disebut  Great Filter.
Great Filter adalah argumen yang berusaha menyelesaikan Paradoks Fermi (Fermi Paradox) -- kontradiksi yang nyata antara tingginya kemungkinan adanya peradaban ekstraterrestrial dengan ketiadaan bukti atau kontak dengan mereka.
Padahal, ukuran dan umur alam semesta menunjukkan bahwa seharusnya ada banyak peradaban berteknologi maju di luar planet manusia. Namun, hipotesis ini tampaknya tidak konsisten dengan kurangnya bukti pengamatan untuk mendukungnya. Pernyataan mendasarnya adalah: di mana (alien) berada?
Fisikawan Enrico Fermi meyakini, adalah hal luar biasa mengapa tak pernah ada sinyal ekstraterresterial atau teknologi alien yang terdeteksi.
Maka ia berpikir, pastilah ada semacam penghalang yang mencegah munculnya kehidupan makhluk cerdas (semacam manusia), yang memiliki teknologi tinggi, dan berpeluang menjajah peradaban lain di angkasa. Kita bisa mengumpamakan penghalang itu sebagai 'Great Filter'.
Namun, apa sebenarnya yang jadi Great Filter alias hambatan itu telah menjadi perdebatan di kalangan ilmuwan 50 tahun lamanya. Ada yang menduga, itu karena terbatasnya jumlah planet mirip Bumi atau tidak adanya kemampuan mereplika molekul atau tak mampu melakukan lompatan dari sel prokariotik -- sel yang tidak memiliki selaput inti -- menjadi sel eukariotik yang lebih kompleks. Di Bumi proses itu makan waktu miliaran tahun.
Sementara, para pendukung hipotesis 'Rare Earth'  berpendapat bahwa evolusi kehidupan yang kompleks memerlukan kondisi sempurna. Seperti misalnya yang terjadi pada Bumi. Planet manusia berada di zona habitasi Matahari -- bintang yang cukup jauh dari pusat galaksi untuk menghindari radiasi yang merusak, atmosfer cukup tebal untuk membakar asteroid yang masuk Bumi, dan Bulan luar biasa besar yang menstabilkan kemiringan sumbu -- yang memberi kita musim yang berbeda.
Great Filter diyakini mencegah munculnya peradaban antar-bintang. Masalahnya kita tak tahu apakah itu masa lalu atau masa depan manusia.
Selama 200 ribu tahun, spesies manusia selamat dari malapetaka letusan supervolkano, tabrakan asteroid, dan pandemi penyakit. Namun, rekam jejak kita sebagai penyintas (survivor) bisa jadi terbatas hanya dalam beberapa dekade. Faktor pemicunya perang nuklir, misalnya. Atau sebab lain seperti bioteknologi yang berpotensi bencana. Sejumlah ilmuwan termasuk Stephen Hawking, Max Tegmark, Stuart Russell, dan Cambridge Centre mengkhawatirkan eksistensi mesin super cerdas yang bisa jadi menyingkirkan supremasi manusia di planet ini.
Awalnya, Fermi Paradox berasumsi bahwa planet-planet mirip Bumi adalah langka. Namun, fakta membuktikan, sejumlah temuan astronomi telah mengungkapkan adanya ratusan eksoplanet. Hambatan dari sisi jumlah hilang. Jadi Great Filter mungkin bersembunyi di jalur antara planet layak huni dan peradaban yang sedang berkembang .
Jika Kepler-186f ternyata penuh dengan kehidupan cerdas, maka itu akan menjadi berita yang sangat buruk bagi umat manusia. Itu akan mendorong posisi Great Filter ke dalam tahap teknologi perkembangan peradaban. Bencana bisa saja menanti, bagi Bumi atau rekan ekstraterresterial di mana kehidupan alien berada.  
Menurut teori Great Filter, menemukan makhluk di planet lain dalam tata surya akan menunjukkan bahwa munculnya kehidupan bukanlah hal langka. Jika ada dua kehidupan dalam tata surya, maka itu bisa terjadi jutaan di seluruh galaksi. Artinya, Great Filter tidak terjadi dalam kehidupan awal di sebuah planet. Ia mungkin akan datang belakangan.
Jika Great Filter ada di masa depan, untuk kasus Bumi, itu berarti beberapa peristiwa besar yang menanti manusia suatu ketika -- seperti kepunahan --  yang akan mencegah manusia menjelajah ke bagian lain dari galaksi.
"Jadi, berharap saja Kepler-186f kering kerontang dan tak ada kehidupan," kata Andrew Snyder-Beattie dari University of Oxford, seperti Liputan6.com kutip dari SPACE.com.
Dalam kasus Kepler-186f, makhluk cerdas mungkin tak ada di sana. Atmosfernya mungkin terlalu tipis untuk mencegah pembekuan, atau tak ada pasang surut di sana sehingga lingkungannya relatif statis. Bahwa ia kemungkinan tak bisa menopang kehidupan harus dirayakan. Untung saja! Seperti yang pernah diungkap filsuf Nick Bostrom:
"Kesunyian langit malam adalah emas...dalam pencarian kehidupan di luar Bumi, tidak ada berita berarti kabar bagus. Karena itu menjanjikan potensi masa depan bagi umat manusia…"

Tak hanya mencari kehidupan di eksoplanet. Fiksi ilmiah Star Wars ternyata memberi petunjuk penting soal itu. Film yang dirilis kali pertama pada 25 Mei 1977 mengisahkan alien berbulu yang jadi favorit penonton: Ewok -- mamalia berkaki dua mirip Teddy bear, yang tinggal di hutan di bulan bernama Endor.  
Dalam istilah ilmiah, dunia yang jadi rumah Ewok disebut sebagai exomoon atau bulan luar surya yang mengorbit sebuah planet eksoplanet -- planet yang mengorbit sebuah bintang lain selain matahari kita.
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa exomoon juga bisa menyediakan lingkungan yang layak huni. Meskipun belum menemukannya, kita memiliki alasan untuk percaya bahwa jumlahnya sangat banyak, lebih banyak dari eksoplanet.
Banyak eksoplanet ditemukan dalam 20 tahun terakhir, yang ukurannya besar mirip Yupiter. Karena ukurannya itu mereka gampang terdeteksi. Meski berada zona habitasi, planet sebesar itu tak mungkin punya zat cair --  salah satu syarat penting kehidupan.
Namun, seperti halnya Yupiter, planet di luar tata surya mungkin punya bulan yang bisa dihuni. Bahkan, satelit Yupiter, Europa diduga memiliki zat cair terkubur di bawah kerak es. Sementara, Enceladus, satelit Saturnus dipastikan memiliki air yang tersembunyi.
Penelitian terbaru oleh Duncan Forgan dan Vergil Yotov dari University of Edinburgh menyoroti berbagai faktor yang dapat membuat exomoon lebih atau kurang layak huni. Salah satunya soal iklim. Secara teoritis para peneliti mengklasifikasikan ‘benjolan’ exomoon sebagai: ‘bisa dihuni’, ‘panas’, ‘bola salju’, atau ‘hanya bisa buat transit’.
“Ini pasti hanya masalah waktu sebelum exomoon pertama ditemukan dan probabilitas untuk menemukan satu, di zona habitasi bintang, cukup tinggi. Kita mungkin tidak menemukan Ewok, tapi exomoon yang menawarkan prospek untuk menopang kehidupan asing, mungkin dijumpai,” kata Andrew Norton seperti dimuat SPACE.com, 26 April 2014.
NASA: Masa Depan Ada di Kedalaman Angkasa Luar

Pada Kamis 15 April 2010, sebuah ikrar diucap Presiden Amerika Serikat Barack Obama: manusia segera mengirim astronot ke asteroid dan Mars.
“Saya berharap dapat menyaksikan mimpi itu terwujud,” kata Obama, di pangkalan pesawat luar angkasa, Kennedy Space Center -- di mana manusia pertama ke Bulan diberangkatkan.
Perjalanan ke asteroid adalah perintis, sebelum mewujudkan mimpi besar -- ekspedisi ke Planet Merah, Mars, yang akan jadi prestasi kolosal yang dicatat sejarah. Sama halnya ketika mengirimkan manusia pertama ke Bulan. “Kita menginginkan lompatan di masa depan. Tidak menapak terus di jalan yang sama” kata Obama.
Obama tak memprediksi kapan mimpi itu bisa terwujud. Tapi, kata dia, pada 2025, AS akan memiliki pesawat luar angkasa baru yang dirancang untuk perjalanan jarak jauh.
Apa yang diucapkan Obama mirip deklarasi Presiden John F Kennedy pada 1961. “Saya percaya bangsa ini akan mewujudkan mimpi, sebelum dekade ini berakhir, mendaratkan manusia ke Bulan dan kembali dengan selamat ke Bumi,” kata Kennedy saat itu.
Pada tahun 1969, mimpi itu terwujud.
Senada dengan mimpi Obama, Kepala NASA, Charles Bolden, menegaskan masa depan eksplorasi ruang angkasa manusia AS adalah di belantara angkasa luar. Ini saatnya kita lepas dari ideologi era-Apollo. Harus ada tujuan yang lebih jauh ketimbang Stasiun Luar Angkasa Internasional atau Bulan.
Salah satu rencana besar NASA adalah menangkap sebuah asteroid dengan robot satelit dan menariknya ke dekat Bulan sehingga astronot dapat menjelajahi batu angkasa itu. Misi tersebut ditargetkan pada 2025. Mars akan menjadi target berikutnya, pada 2030.
"Masa depan manusia ada di ke kedalaman angkasa luar. Ke Mars, untuk mencari jawaban, bagaimana kita bisa melindungi planet ini dari asteroid dan ancaman lain," kata Bolden seperti dimuat SPACE.com, 25 April 2014.
Namun untuk tujuan itu, diperlukan lebih dari sekedar roket dan pesawat ruang angkasa. “Kita harus memiliki infrastruktur di orbit rendah Bumi." Semacam tempat transit.
Kembali ke fakta bahwa alam semesta tak terbatas dan terbatasnya pengetahuan manusia tak ada salahnya kita mengingat apa yang pernah disampaikan Begawan Astronomi, Carl Sagan.
"Sikap kita, keistimewaan kita yang semu, khayalan bahwa kita memiliki tempat penting di alam semesta ini, tidak berarti apapun di hadapan setitik cahaya redup ini. Planet kita hanyalah sebutir debu yang kesepian di alam yang besar dan gelap. Dalam kebingungan kita, di tengah luasnya jagat raya ini, tiada tanda bahwa pertolongan akan datang dari tempat lain untuk menyelamatkan kita dari diri kita sendiri."

Repost from : liputan6.com
- See more at: http://news.liputan6.com/read/2042887/planet-alien-kepler-186f-dan-ancaman-kepunahan-manusia#sthash.06P6UN94.dpuf

0 komentar: