Ini gambaran Bumi pada 2154: sesak, padat, rusak, gersang, compang-camping. Debu melapisi permukaan segala hal termasuk dedaunan di pohon yang tak leluasa tumbuh di antara belantara beton kumuh yang menjulang tinggi. Polusi sedemikian parah mencekik jalan napas manusia yang hidup di dalamnya, penyakit pun merajalela. Gajah, gorila, dan jerapah tinggal cerita masa lalu. Punah.
Tak ada kelas menengah saat itu. Takdir manusia
dipisahkan dua dunia: Bumi suram yang dikendalikan robot atau ‘surga’ berbentuk
roda dengan simbol bintang di tengahnya. Yang berkilau terang di langit
malam, jaraknya sedikit lebih dekat dari Bulan.
Nirwana itu adalah satelit buatan manusia, hanya
orang-orang kaya yang bisa tinggal di dalamnya dengan nyaman. Rumah-rumah
besar, alam yang indah, pepohonan, udara bersih, robot-robot pelayan yang siap
melaksanakan titah. Orang di dalamnya tak pernah sakit dan menua. Setiap
penyakit dapat disembuhkan seketika.
“Aku akan membawamu ke sana. Aku janji,” kata Max
kecil, pada sahabatnya, Frey. Keduanya adalah penduduk Bumi, kaum
proletar. Kelak ikrar tersebut menuntut nyawa. Kisah itu
digambarkan dalam film Esylum yang dirilis pada 2013 lalu --
satu lagi ramalan suram Bumi.
Benarkah hal buruk akan menimpa planet kita
di masa depan?
Setidaknya itu yang diyakini astrofisikawan tenar, Stephen
Hawking. Dalam sebuah wawancara dengan situs Big Think, ia mengatakan
manusia dalam bahaya besar. Ancaman terhadap eksistensi manusia, seperti
perang, penurunan sumber daya alam, dan overpopulasi berarti meningkatkan
risiko hidup di Bumi berkali lipat.
“Sangat sulit untuk menghindar dari bencana dalam
beberapa ratus tahun mendatang, apalagi dalam ribuan atau jutaan tahun ke
depan,” kata Hawking. “Satu-satunya agar manusia bisa bertahan dalam
jangka waktu lama adalah untuk tidak tergantung pada Bumi. Manusia
harus pindah, menyebar di luar angkasa.”
Namun, waspada! Dalam seri Discovery Channel,
Hawking memperingatkan manusia untuk berhati-hati dalam melakukan kontak dengan
bentuk kehidupan asing. Para alien itu mungkin tak ramah.
Kekhawatiran Hawking soal Bumi bukan tanpa dasar.
Fakta menunjukkan, Berdasarkan penanggalan radiometrik meteorit, usia Bumi
lebih dari 4,54 miliar tahun. Sudah tua. Sampai kapan ia layak dihuni?
Studi yang dilakukan University of East Anglia,
Inggris, pada 2013 lalu memperkirakan, Bumi masih mampu menopang kehidupan
setidaknya selama 1,75 miliar tahun mendatang. Tapi ada syaratnya, selama
bencana dahsyat akibat nuklir, tubrukan asteroid raksasa, dan malapetaka lain
tak terjadi.
Namun, bahkan tanpa skrenario kiamat sedramatis itu,
kekuatan astronomi akan memaksa Bumi tak lagi bisa dihuni. Suatu masa antara
1,75 miliar hingga 3,25 tahun lagi, Bumi akan keluar dari zona layak
huni (habitable) dalam Tata Surya ke ‘zona panas’.
Saat masuk ke zona panas, Bumi akan mendekat ke
Matahari, membuat lautan kering kerontang. Dan tentu saja, kondisi kehidupan,
termasuk manusia, tak bakal mampu bertahan.
Jika manusia terpaksa pindah, ke mana? Kalau tak
mampu membuat koloni di orbit rendah Bumi seperti Esylum, Mars mungkin pilihan
terbaik, meski misi rover yang dikirim, termasuk Curiosity belum menemukan
tanda-tanda kehidupan di sana. Planet Merah masih terlalu tandus untuk dihuni
manusia. Venus pun tak bisa ditinggali karena terletak terlalu dekat dengan
Matahari dan terlalu panas.
Setidaknya ada tiga syarat utama sehingga sebuah
planet bisa dibilang layak huni, yakni harus adanya sumber panas, air, dan
kehidupan organik. Selain Mars dan Venus, di tata surya kita, ada
beberapa kandidat lain yakni satelit Yupiter -- Europa serta
satelit Saturnus -- Enceladus dan Titan. Namun sejauh ini kepastian belum
didapat.
Sejak Dr Alexander Wolszczan, astronom radio di
Pennsylvania State University menemukan ‘bukti tak terbantahkan’ tentang sistem
planet ekstrasolar atau eksoplanet pada 1994, para ilmuwan mulai mencari
tanda-tanda kehidupan di luar tata surya. Mencari ’planet alien’.
Pertengahan April 2014, sebuah pengumuman penting
disampaikan para astronom. Ditemukan eksoplanet atau planet di luar tata surya
seukuran Bumi yang berada di zona layak huni bintangnya! Namanya Kepler-186f.
Ia kali pertama diketahui keberadaannya oleh teleskop
luar angkasa Kepler milik Badan Antariksa Amerika Serikat
(NASA). Kepler-186f diketahui mengorbit bintang merah yang bersinar
redup, yang jaraknya 490 tahun cahaya dari Bumi: Kepler-186.
Para ilmuwan menduga, Kepler-186f -- yang terluar
dari 5 planet yang mengorbit bintang Kepler-186 dalam jarak 52,4 kilometer
secara teoritis berada dalam zona habitasi bintang merah kerdil itu.
Sementara, orbit Bumi dari Matahari berjarak
rata-rata 150 juta kilometer. Namun, Matahari lebih besar dan terang
dari bintang Kepler-186. Itu mengapa zona layak huni Matahari lebih jauh.
Jari-jari Kepler-186f diperkirakan sekitar 1,1
kali jari-jari Bumi. Itu berarti ukurannya sedikit lebih besar dari planet
manusia. Mungkin berbatu seperti Bumi. Namun, para ilmuwan belum bisa
memastikan, apa elemen yang membentuk atmosfer planet tersebut -- kunci
yang dapat membantu menguak apakah planet ini bisa dihuni makhluk hidup.
Para astronom sejauh ini telah mengkonfirmasi
keberadaan hampir 1.000 planet di luar tata surya. Namun, sebagian besar
eksoplanet terkonfirmasi sebagai planet gas raksasa seperti Jupiter tanpa
permukaan padat, atmosfer beracun, dan terlalu panas atau terlalu dingin untuk
zat cair dan apalagi kehidupan. Jadi Kepler-186f adalah temuan istimewa.
“Ini (Kepler-186f ) planet definitif pertama seukuran
Bumi yang ditemukan di zona layak huni di sekitar bintang lain,” kata Elisa
Quintana dari SETI Institute di NASA Ames Research Centre
di Moffett Field, California, dan penulis utama penelitian yang diterbitkan
dalam jurnal Science.
Penting untuk mencari planet yang ukurannya serupa
dengan Bumi. “Apa yang kita pelajari, dalam beberapa tahun terakhir, adalah ada
transisi pasti yang terjadi sekitar 1,5 kali jari-jari bumi,” kata Quintana dalam
sebuah pernyataan. “Jika sebuah planet memiliki jari-jari 1,5 sampai 2 kali
jari-jari Bumi, ia menjadi cukup besar untuk mulai menumpuk hidrogen sangat
tebal dan memiliki atmosfer helium -- sehingga menyerupai gumpalan
gas raksasa.”
Kepler-186f sesuai dengan deskripsi dari sebuah
planet berbatu dengan atmosfer jinak yang terletak dalam zona ramah atau
Goldilocks -- yang tidak terlalu panas atau terlalu dingin bagi
kehidupan. “Yang paling mendekati Bumi 2.0,” kata para astronom.
Benarkah kita telah menemukan Bumi 2.0 alias Bumi
kedua? Tunggu dulu!
“Berada di zona layak huni tidak berarti kita tahu
planet ini memang layak huni,” kata Thomas Barclay, ilmuwan riset di Bay
Area Environmental Research Institute, NASA. “Suhu di planet tersebut
sangat tergantung pada jenis atmosfer yang dimilikinya.”
Menurutnya, terlalu prematur untuk menyebutnya mirip
dengan Bumi. “Kepler-186f lebih mirip ‘sepupu Bumi’ daripada ‘kembaran Bumi’.”
Pencarian Bumi kedua di luar tata surya mungkin tak
terkait tujuan menemukan koloni manusia, jaraknya terlalu jauh. Mustahil kita
berpindah di sana dengan teknologi yang dimiliki saat ini. Kepala Lembaga
Penerbangan dan Antariksa Nasional, Thomas Djamaluddin, berpendapat ada rasa
ingin tahu besar manusia yang membutuhkan jawaban. "Itu dari segi
keingintahuan ilmiah bahwa (apakah benar) Bumi bukan planet (satu-satunya) yang
ada penghuninya. Keingintahuan mendorong para peneliti mencari planet lain yang
dari segi temperatur mirip."
Temuan Kepler-186f di konstelasi Cygnus memang
kabar menggembirakan. Tapi, sebaliknya, dianggap meningkatkan posibilitas
kepunahan manusia dalam jangka pendek. Itu sesuai dengan konsep yang
disebut Great Filter.
Great Filter adalah argumen yang berusaha
menyelesaikan Paradoks Fermi (Fermi Paradox) -- kontradiksi yang nyata antara
tingginya kemungkinan adanya peradaban ekstraterrestrial dengan ketiadaan bukti
atau kontak dengan mereka.
Padahal, ukuran dan umur alam semesta menunjukkan
bahwa seharusnya ada banyak peradaban berteknologi maju di luar planet manusia.
Namun, hipotesis ini tampaknya tidak konsisten dengan kurangnya bukti
pengamatan untuk mendukungnya. Pernyataan mendasarnya adalah: di mana (alien)
berada?
Fisikawan Enrico Fermi meyakini, adalah hal luar
biasa mengapa tak pernah ada sinyal ekstraterresterial atau teknologi alien
yang terdeteksi.
Maka ia berpikir, pastilah ada semacam penghalang
yang mencegah munculnya kehidupan makhluk cerdas (semacam manusia), yang
memiliki teknologi tinggi, dan berpeluang menjajah peradaban lain di angkasa.
Kita bisa mengumpamakan penghalang itu sebagai 'Great Filter'.
Namun, apa sebenarnya yang jadi Great Filter alias
hambatan itu telah menjadi perdebatan di kalangan ilmuwan 50 tahun lamanya. Ada
yang menduga, itu karena terbatasnya jumlah planet mirip Bumi atau tidak adanya
kemampuan mereplika molekul atau tak mampu melakukan lompatan dari sel
prokariotik -- sel yang tidak memiliki selaput inti -- menjadi sel eukariotik
yang lebih kompleks. Di Bumi proses itu makan waktu miliaran tahun.
Sementara, para pendukung hipotesis 'Rare Earth'
berpendapat bahwa evolusi kehidupan yang kompleks memerlukan kondisi sempurna.
Seperti misalnya yang terjadi pada Bumi. Planet manusia berada di zona habitasi
Matahari -- bintang yang cukup jauh dari pusat galaksi untuk menghindari
radiasi yang merusak, atmosfer cukup tebal untuk membakar asteroid yang masuk
Bumi, dan Bulan luar biasa besar yang menstabilkan kemiringan sumbu -- yang
memberi kita musim yang berbeda.
Great Filter diyakini mencegah munculnya peradaban
antar-bintang. Masalahnya kita tak tahu apakah itu masa lalu atau masa depan
manusia.
Selama 200 ribu tahun, spesies manusia selamat dari
malapetaka letusan supervolkano, tabrakan asteroid, dan pandemi penyakit.
Namun, rekam jejak kita sebagai penyintas (survivor) bisa jadi terbatas
hanya dalam beberapa dekade. Faktor pemicunya perang nuklir, misalnya. Atau
sebab lain seperti bioteknologi yang berpotensi bencana. Sejumlah ilmuwan
termasuk Stephen Hawking, Max Tegmark, Stuart Russell, dan Cambridge Centre mengkhawatirkan
eksistensi mesin super cerdas yang bisa jadi menyingkirkan supremasi manusia di
planet ini.
Awalnya, Fermi Paradox berasumsi bahwa planet-planet
mirip Bumi adalah langka. Namun, fakta membuktikan, sejumlah temuan astronomi
telah mengungkapkan adanya ratusan eksoplanet. Hambatan dari sisi jumlah
hilang. Jadi Great Filter mungkin bersembunyi di jalur antara planet layak huni
dan peradaban yang sedang berkembang .
Jika Kepler-186f ternyata penuh dengan kehidupan
cerdas, maka itu akan menjadi berita yang sangat buruk bagi umat manusia. Itu
akan mendorong posisi Great Filter ke dalam tahap teknologi perkembangan
peradaban. Bencana bisa saja menanti, bagi Bumi atau rekan ekstraterresterial
di mana kehidupan alien berada.
Menurut teori Great Filter, menemukan makhluk di
planet lain dalam tata surya akan menunjukkan bahwa munculnya kehidupan
bukanlah hal langka. Jika ada dua kehidupan dalam tata surya, maka itu bisa
terjadi jutaan di seluruh galaksi. Artinya, Great Filter tidak terjadi dalam
kehidupan awal di sebuah planet. Ia mungkin akan datang belakangan.
Jika Great Filter ada di masa depan, untuk kasus
Bumi, itu berarti beberapa peristiwa besar yang menanti manusia suatu ketika --
seperti kepunahan -- yang akan mencegah manusia menjelajah ke bagian lain
dari galaksi.
"Jadi, berharap saja Kepler-186f kering
kerontang dan tak ada kehidupan," kata Andrew Snyder-Beattie dari
University of Oxford, seperti Liputan6.com kutip dari SPACE.com.
Dalam kasus Kepler-186f, makhluk cerdas mungkin tak
ada di sana. Atmosfernya mungkin terlalu tipis untuk mencegah pembekuan, atau
tak ada pasang surut di sana sehingga lingkungannya relatif statis. Bahwa ia
kemungkinan tak bisa menopang kehidupan harus dirayakan. Untung saja! Seperti
yang pernah diungkap filsuf Nick Bostrom:
"Kesunyian langit malam adalah emas...dalam
pencarian kehidupan di luar Bumi, tidak ada berita berarti kabar bagus. Karena
itu menjanjikan potensi masa depan bagi umat manusia…"
Tak hanya mencari kehidupan di eksoplanet. Fiksi
ilmiah Star Wars ternyata memberi petunjuk penting soal itu. Film
yang dirilis kali pertama pada 25 Mei 1977 mengisahkan alien berbulu yang jadi
favorit penonton: Ewok -- mamalia berkaki dua mirip Teddy bear, yang tinggal di
hutan di bulan bernama Endor.
Dalam istilah ilmiah, dunia yang jadi rumah Ewok
disebut sebagai exomoon atau bulan luar surya yang mengorbit sebuah
planet eksoplanet -- planet yang mengorbit sebuah bintang lain selain matahari
kita.
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa exomoon juga
bisa menyediakan lingkungan yang layak huni. Meskipun belum menemukannya, kita
memiliki alasan untuk percaya bahwa jumlahnya sangat banyak, lebih banyak dari
eksoplanet.
Banyak eksoplanet ditemukan dalam 20 tahun terakhir,
yang ukurannya besar mirip Yupiter. Karena ukurannya itu mereka gampang
terdeteksi. Meski berada zona habitasi, planet sebesar itu tak mungkin punya
zat cair -- salah satu syarat penting kehidupan.
Namun, seperti halnya Yupiter, planet di luar tata
surya mungkin punya bulan yang bisa dihuni. Bahkan, satelit Yupiter, Europa diduga
memiliki zat cair terkubur di bawah kerak es. Sementara, Enceladus, satelit
Saturnus dipastikan memiliki air yang tersembunyi.
Penelitian terbaru oleh Duncan Forgan dan Vergil
Yotov dari University of Edinburgh menyoroti berbagai faktor yang dapat membuat
exomoon lebih atau kurang layak huni. Salah satunya soal iklim. Secara teoritis
para peneliti mengklasifikasikan ‘benjolan’ exomoon sebagai: ‘bisa dihuni’,
‘panas’, ‘bola salju’, atau ‘hanya bisa buat transit’.
“Ini pasti hanya masalah waktu sebelum exomoon
pertama ditemukan dan probabilitas untuk menemukan satu, di zona habitasi
bintang, cukup tinggi. Kita mungkin tidak menemukan Ewok, tapi exomoon yang
menawarkan prospek untuk menopang kehidupan asing, mungkin dijumpai,” kata
Andrew Norton seperti dimuat SPACE.com, 26 April 2014.
NASA: Masa Depan Ada di Kedalaman Angkasa Luar
Pada Kamis 15 April 2010, sebuah ikrar diucap
Presiden Amerika Serikat Barack Obama: manusia segera mengirim astronot ke
asteroid dan Mars.
“Saya berharap dapat menyaksikan mimpi itu terwujud,”
kata Obama, di pangkalan pesawat luar angkasa, Kennedy Space Center -- di mana
manusia pertama ke Bulan diberangkatkan.
Perjalanan ke asteroid adalah perintis, sebelum
mewujudkan mimpi besar -- ekspedisi ke Planet Merah, Mars, yang akan jadi
prestasi kolosal yang dicatat sejarah. Sama halnya ketika mengirimkan manusia
pertama ke Bulan. “Kita menginginkan lompatan di masa depan. Tidak menapak
terus di jalan yang sama” kata Obama.
Obama tak memprediksi kapan mimpi itu bisa terwujud.
Tapi, kata dia, pada 2025, AS akan memiliki pesawat luar angkasa baru yang
dirancang untuk perjalanan jarak jauh.
Apa yang diucapkan Obama mirip deklarasi Presiden
John F Kennedy pada 1961. “Saya percaya bangsa ini akan mewujudkan mimpi,
sebelum dekade ini berakhir, mendaratkan manusia ke Bulan dan kembali dengan
selamat ke Bumi,” kata Kennedy saat itu.
Pada tahun 1969, mimpi itu terwujud.
Senada dengan mimpi Obama, Kepala NASA, Charles
Bolden, menegaskan masa depan eksplorasi ruang angkasa manusia AS adalah di
belantara angkasa luar. Ini saatnya kita lepas dari ideologi era-Apollo. Harus
ada tujuan yang lebih jauh ketimbang Stasiun Luar Angkasa Internasional atau
Bulan.
Salah satu rencana besar NASA adalah menangkap sebuah
asteroid dengan robot satelit dan menariknya ke dekat Bulan sehingga astronot
dapat menjelajahi batu angkasa itu. Misi tersebut ditargetkan pada 2025. Mars
akan menjadi target berikutnya, pada 2030.
"Masa depan manusia ada di ke kedalaman angkasa
luar. Ke Mars, untuk mencari jawaban, bagaimana kita bisa melindungi planet ini
dari asteroid dan ancaman lain," kata Bolden seperti dimuat SPACE.com,
25 April 2014.
Namun untuk tujuan itu, diperlukan lebih dari sekedar
roket dan pesawat ruang angkasa. “Kita harus memiliki infrastruktur di orbit
rendah Bumi." Semacam tempat transit.
Kembali ke fakta bahwa alam semesta tak terbatas dan
terbatasnya pengetahuan manusia tak ada salahnya kita mengingat apa yang pernah
disampaikan Begawan Astronomi, Carl Sagan.
"Sikap kita, keistimewaan kita yang semu,
khayalan bahwa kita memiliki tempat penting di alam semesta ini, tidak berarti
apapun di hadapan setitik cahaya redup ini. Planet kita hanyalah sebutir debu
yang kesepian di alam yang besar dan gelap. Dalam kebingungan kita, di tengah
luasnya jagat raya ini, tiada tanda bahwa pertolongan akan datang dari tempat
lain untuk menyelamatkan kita dari diri kita sendiri."
Repost from : liputan6.com
Repost from : liputan6.com
- See more at:
http://news.liputan6.com/read/2042887/planet-alien-kepler-186f-dan-ancaman-kepunahan-manusia#sthash.06P6UN94.dpuf
0 komentar:
Posting Komentar